Konya, Akhirnya …

Sugeng Hariyanto Ketika engkau mengunjungi kuburku,batu nisanku akan terlihat menari-nari ...Jangan datang ke kuburku tanpa tambur, saudaraku!Karena orang yang berduka tidak pantas datang ke jamuan Allah!(hal. 284) (Aku ingat betul larik-larik itu; aku menerjemahkannya tahun 2004. Saat kubaca lagi sekarang, aku menyadari ada banyak istilah yang kurang padu dengan suasana batin di teks itu. Ya,... Continue Reading →

Ibu

Engkau mewartakan dunia tanpa kataengkau memberi nasihat tanpa terasaketika kakiku terantuk batuengkau rasakan perihnya lukaketika senyum kembang di bibirkuengkau rasakan bahagiaTanganmu cepat merengkuh saat kujatuhhingga kini tangan itu senantasa terulurmemanjang dalam doa malam-malammuEngkau rumah tempatku pulangpelindungku dari panas dan hujanTetaplah senyummu mengembanghangatnya yang sementari pagimemekarkan bunga dalam hatitak kan pernah aku mampumembalas tenteram dekapmudari dulu... Continue Reading →

Masih Ada Satu Kaplet untukmu Besok pagi

Sugeng Hariyanto petang ini kita berdua demamtak bisa saling merawattapi hanya bisa saling melihataku telepon kantor depanmereka kira kita minta ganti kamartinggal dua kaplet panadol tersisaaku berikan satu kaplet untukmudan aku simpan sisanya untuk esok pagiaku bisa mengatasi demam ini,aku betulkan selimutmu merangkum kakitapi, gemetar, aku rebahkan diritubuhku seperti terangkatbayang-bayang hitam berdatangan mengejarkuengkau kudorong menyelinap... Continue Reading →

Kincir dan Api (Rumi 2)

Sugeng Hariyanto Saat menceritakan pertemuan Samsyi Tabriz dengan Rumi (nomor #1) kemarin, saya teringat perjalanan saya (lebih tepatnya kami) menuju Konya. Saya tak berbekal apa-apa selain ingat lamat-lamat bahwa saya pernah menerjemahkan buku kecil yang judul jadinya adalah "Menari Menghampiri Tuhan: Biografi Spiritual Rumi", karya Leslie Wines, atas Pesanan Arasy Mizan. Gambaran situasi di sekitar... Continue Reading →

KETIKA KAU TUA NANTI

Sugeng Hariyanto Ketika kau tua nanti, beruban, serta sering mengantuk,terkantuk-kantuk dekat perapian, ambil buku ini segera,baca pelan-pelan, dan bayangkan tatapan lembutmatamu dulu, serta kerling indahnya; betapa banyak yang menyukaimu saat kau tertawadan menyintai kecantikanmu dengan jujur atau palsuTapi, seorang lelaki menyintai perjalanan jiwamuserta gurat kesedihan di wajahmu yang menua; dan kau membungkuk sepi di samping... Continue Reading →

Jejak langkah

Mari terus melangkah meninggalkan jejak-jejak terseret di lumpur gelap kental Mari terus melangkah mencetak jejak-jejak di atas tanah tenteram sambil menunggu kereta yang akan menjemput kita kita pandangi jejak-jejak mula akankah terentang hingga ke surga?

Pak Zuchridin, ortu keilmuan terjemahan saya

Oleh Sugeng Hariyanto Sahabat, apakah Anda mengenal sosok di foto berikut ini? Ya, yang paling kiri dari pandangan Anda itu patung. Yang tengah itu saya dan yang paling kanan itu adalah? Beliau yang lahir tahun 1931 itu adalah orang tua keilmuan saya di bidang sastra dan terjemahan. Saya mengikuti dengan antusias pembacaan cerpen beliau saat... Continue Reading →

Mas Dibyo (1) – Berbalas Deham

Namanya Dibyo. Sepenggal nama bangsawan Jawa. Dari Barat, Maospati. Namun, aku yakin, dia bukan bangsawan keturunan Raden Rangga, Adipati Madiun yang berkedudukan di Maospati. Tubuhnya kecil, tapi perawakannya berotot. Orang ini istimewa sekali di mataku. Dia selalu menjadi bintang kelas di SPG Negeri Magetan. Dia, yang kakak angkatanku itu, menyempatkan mengunjungi aku di rumah sakit... Continue Reading →

How do I love thee?

Seminggu 'terkapar' berdua karena kunjungan covid, kami pisah kamar tidur. Tak tahu juga, kenapa harus pisah kamar tidur, padahal sama-sama positifnya. Saya teringat puisi tua yang dulu menghiasi hatiku dan aku pun mengindonesiakannya. Ini adalah soneta ke 43 dari Elizabeth Barrett Browning (1806-1861). Foto: Di masjid Baiturrahman, Banda Aceh, sebelum akad nikah keponakan How do I... Continue Reading →

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑