Konya, Akhirnya …

Sugeng Hariyanto


Ketika engkau mengunjungi kuburku,
batu nisanku akan terlihat menari-nari …
Jangan datang ke kuburku tanpa tambur, saudaraku!
Karena orang yang berduka tidak pantas datang ke jamuan Allah!
(hal. 284)


(Aku ingat betul larik-larik itu; aku menerjemahkannya tahun 2004. Saat kubaca lagi sekarang, aku menyadari ada banyak istilah yang kurang padu dengan suasana batin di teks itu. Ya, itu larik-larik dari Rumi. Dan akan aku ceritakan sekilas kunjunganku ke makam penulis larik-larik itu. Angka-angka dalam kurung di akhir paragraf mengacu pada halaman buku “Menari Menghampiri Tuhan:, yang kukutip.)

Sampul buku terjemahnku tahun 2004

Rumi, pada detik-detik akhir sakitnya berkata kepada teman-temannya, “Di dunia ini aku memiliki dua ikatan, satu pada jasadku, dan satu lagi pada kalian. Atas rahmat Allah, ketika aku harus dikeluarkan dari dunia sunyi dan abstrak ini, ikatanku dengan kalian akan tetap ada.” (hal 284)

Pada senja hari tanggal 17 Desember 1273, di hitungan usia 60 tahun, sang penyair sufi itu menghadap kehadirat Illahi. (Di tanggal ini para pengagum dan pecinta Rumi dari seluruh dunia akan rela datang jauh-jauh ke Konya untuk merayakan hari kematiannya.) Dan benar, ikatan antara dia dan para pengikut, pengagum, dan orang-orang Konya tetap ada. Konya, kota tempat Rumi menghabiskan sebagian besar usianya dan tempat dia dimakamkan, akhirnya … sempat kukunjungi.

Siapakah tidak mengenal Rumi, ahli fiqih teratas di Turki masa lalu yang kemudian banting setir meniti jalan sufi setelah ketemu Syamsi Tabriz? Lalu berlompatan tak keruan syair-syair indah setelah si ‘Matahari’ itu pergi entah ke mana.


Saat hatiku memandang lautan cinta, tiba-tiba ia pergi melompat, lalu melolong, “Selamatkan aku!”
Keagungan Tabriz, wajah liar Mentari yang diruntut hati berkabut (hal. 188).
==
Aneh, ke manakah perginya sang penghancur hati?
Aneh, kemanakah sang pohon siprus pergi?
Dengan cahayanya, dia mengguyur kita seperti lilin:
tenggelam dalam udara tipis.
meninggalkan kita!
Ke mana perginya?
Hatiku seperti daun, gemetar sepanjang hari:
Ke manakah malam sang perampas hati pergi? (hal 220)

Demikian ungkapan kabut kesedihan Rumi tentang luka-lara cinta antara murid tasawuf dengan pembimbing sufinya tertulis dalam Diwani. barangkali setelah kering air mata hati karena perpisahan memilukan ini, lalu muncullah puisi-puisi seperti tafsir Quran dengan uangkapan yang sama sekali berbeda dari yang lainnya, Mastnawi. Mastnawi, yang ditulisnya selama lebih dari satu dasawarsa, memekarkan lebih dari 25.700 bait!

Dalam lawatan singkat ke Turki, kami mengunjungi kompleks makam Rumi di Konya. Ada rasa tak biasa, karena aku akan mengunjungi kuburan orang yang biografinya pernah aku terjemahkan, yang penggal-penggal syairnya kadang kubaca dengan nikmat.

Rumi tidak bisa dipisahkan dari tarekat Maulawiyah yang dirintisnya dan sama’. Sama’ adalah tarian berputar-putar yang dilakukan oleh para darwis peniti jalan tarekat ini. Penari sama’ akan menggasing, mula-mula pelan, dengan wajah setengah memandang langit, salah satu tangan di posisi atas, dan tangan lainnya mengarah ke bawah. Itu, katanya, menunjukkan sikap manusia yang ikhlas untuk menerima segala berkah dari Allah lalu membaginya turun ke semua yang ada di bumi. Tarian ini sendiri mulai dilakukan Rumi setelah ditinggal pergi Syamsi Tabriz. Entah kenapa, sensitivitasnya terhadap musik dan keingahan puisi menjadi sangat tinggi.

Sebelum kematiannya, banyak sekali “santri” yang belajar di tempat Rumi yang sekarang menjadi lokasi kuburnya. Makam itu sebenarnya bukanlah temat peristirahatan yang diinginkan oleh sang penyair. Mungkin sekali pun tak terbayangkan olehnya. Rumi telah meninggalkan pesan kepada para muridnya untuk tidak membangun istana yang mewah atau bangunan lain untuk mengenangnya. Rumi menginginkan kematian ala para darwis papa yang mencintai segala sesuai yang alami, memiliki makam yang sederhana di bawah terik matahari dan hujan serta terpaan debu. (296).

Namun, beberapa tahun setelah dia meninggal makam itu dibangun dengan mewah. Makam itu direnovasi dengan biaya dari beberapa pengagum Rumi yang kaya, dihiasai dengan bebatuan berwarna keemasan dan hitam dan secara husus didesain untuk mencerminkan pakaian pengantin, yang menggambarkan tamsil Rumi bahwa kematiannya bagaikan pernikahan spiritual. (294 – 295).

Pintu masuk ke “gedung” makam Rumi.

Lihatlah kemewahan gedung ini. Di sebelah kiri pintu masuk ada tempat berwudu yang juga mewah. Di depan pintu masuk, ada petugas yang membagikan plastik pembungkus sepatu. Cukup buka plastik yang sudah berbentuk mirip sepatu itu. Masukkan sepatu Anda ke situ tanpa dilepas. Lalu melangkahlah masuk.

Pembungkus sepatu

Suasana agak sesak di dalam. Saat Anda melangkah masuk, di sebelah kanan Anda adalah beberapa makam. Yang utama tentu saja kuburan Rumi. Di sebelah kiri adalah tembok pembatas.

Di dalam foto terlihat makam Rumi. Di dalam gedung makam ini, topi darwis Rumi tergantung. Di kain yang menyelimuti kubur itu ditulis dengan tinta emas beberapa syair terindahnya. Lihatnya keindahan hiasan dinding yang ada. Tertulis ayat Quran dan kalimat penghormatan para pengikutnya untuk Rumi.

Makam Rumi

Setelah sampai di samping makam Rumi, pengunjung akan berbelok ke kiri. Di dalam “gedung” makam yang besar ini juga dipajang banyak benda bersejarah terkait Rumi. Ada beberapa tulisan asli Rumi, bahkan ada yang ditulis dengan tinta emas. Ada juga pakaian Rumi dan beberapa pernak-pernik aksesori darwis pengikut tarekat Maulawiyah. Semuanya tersimpan dalam kotak kaca dengan rapi.

Sebelum pintu keluar ada mushala. Bagian depan diberi tembok. Di seberang tembok tersebut adalah lorong untuk berjalan yang telah kita lewati setelah masuk dari pintu utama tadi. Di sebelah kirinya dipasang sekat yang tembus pandang. Dari situ dapat dilihat koleksi-koleksi baju para Darwis zaman dulu dan tulisan-tulisan syair Rumi yang tadi telah kita lewati.

Kuburan pengikut Rumi dengan bentuk nisan yang khas (di luar gedung).

Di dalam bangunan maupun di luar bangunan, banyak kuburan para murid Rumi. Para pengikut Rumi seakan berlomba-lomba ingin dikuburkan dekat dengan gurunya.

Di dalam kompleks pemakaman ini, di luar gedung makam, berdiri rapi, berbentuk L, bangunan-bangunan yang dulunya menjadi asrama “santri” Rumi. Di sana dibuatkanlah “diorama” kehidupan para peniti tarekat Maulawiyah, sejak ‘ujian’ masuk “pesantren” hingga pakaian-pakaian serta alat musik yang khas. Biasanya pengunjung akan memulai dari dapur, tempat uji kesabaran para calon santri sufi. Jika tidak sabar melaksanakan tugas di dapur, esok paginya, sandalnya dihadapkan ke arah luar. Maka dengan hati yang gundah, calon ‘santri’ itu akan pergi.

Ruang-ruang di “pesantren” Rumi.

Suasana di dapur

Murid sedang berdiskusi

Sedang belajar sama’

Topi Rumi

Ya, akhirnya, di atas makam ini dibangun kubah hijau yang indah. Aku tengadah ke langit di pelataran luar gedung ini. Merenungkan kelebatan kejadian, ahli fiqih paling mumpuni, kemudian jalan sufi, dan permintaanya tidak dituruti oleh para pengikutnya sendiri. Mengernyitkan dahi aku, bertanya apakah cinta yang terlalu menyala tanpa terasa bisa melumatkan keseimbangan timbangan, keselarasan takaran dalam mencinta dan dalam beragama.

Aku tengadah di luar gedung makam ini. Mengernyitkan dahi dan bertanya …

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑