Kincir dan Api (Rumi 2)

Sugeng Hariyanto

Saat menceritakan pertemuan Samsyi Tabriz dengan Rumi (nomor #1) kemarin, saya teringat perjalanan saya (lebih tepatnya kami) menuju Konya. Saya tak berbekal apa-apa selain ingat lamat-lamat bahwa saya pernah menerjemahkan buku kecil yang judul jadinya adalah “Menari Menghampiri Tuhan: Biografi Spiritual Rumi”, karya Leslie Wines, atas Pesanan Arasy Mizan.

Gambaran situasi di sekitar Konya tentu saja tidak sama dengan Abad 13 saat Rumi hidup dan memancarkan madah cintanya ke seluruh penjuru dunia. Namun, pikiran tyang tak pernah diam ini diam-diam mencoba menghubungkannya.

Bus berlari kencang di atas jalan beraspal mulus nan lebar. Kanan kiri terhampar ladang gandum yang lagi menguning. Di ujung pandangan ada barisan pepohonan menjulang. Di Indonesia biasanya itu adanya aliran air di bawahnya.

Segera tersirat ladang gandum saat Rumi di wilayah itu, yang diairi dari saluran yang tertata baik, yang dengan bantuan kincir, air dapat dinaikkan ke jalur irigasi yang mengalir jauh ke bawah lembah, dan ke dalam petak-petak ladang dan sawah itu.

Terbersit puisi Rumi …
Hati ini laksana bulir gandum, kita seperti penggilingannya.
Tahukah kiranya penggilingan, mengapa ia harus berputar?

Tubuh ini ibarat batu giling, air adalah pikirannya
Batu bertanya, “Air, mengertikah kenapa mengalir ke sini?”
Air menjawab, “Tanyakan tukang giling, dialah pengarahnya.
Tukang giling berkata, “Wahai pemakan roti,

jika penggilingan hanya diam berhenti,
bagaimana kuah dan roti bisa dinikmati?

Selaksa urusan sedang diselesaikan;
renungkan, tanyakan pada Tuhan,
Semoga berkenan Dia menjelaskan.

Sahabat, banyak peristiwa terjadi di selingkar kincir waktu yang jarang kita permanai. Tapi Allah, Tuhan, menakdirkan itu semua terjadi demi berlanjutnya pertunjukan kekuasan-Nya di jagad ini. Diamlah, renungkan, dan kau akan mengerti.

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑