Diponegoro, Pangeran Rakyat (15)

15. Selop Munggah Dahi Saat itu Sang Pangeran belum lagi baligh. Namanya masih Raden Mutahar. Begitu selesai shalat Maghrib di langgar kecil dalam lingkungan kadipaten, dia segera beranjak pergi. Di keremangan petang itu tiba-tiba dia rasakan ada tangan mengelus kepalanya dari belakang. Nyaris Raden Mas Mutahar mau lari, dikiranya itu hantu di dalam kompleks kadipaten.... Continue Reading →

Diponegoro, Pangeran Rakyat (14)

14. Jebolnya Ngayogyakarta, Penjarahan oleh Raffles Malam pekat, segelap yang dilingkupinya. Raden Ontowiryo termenung, meningat suara malam itu, saat dia menyepi di Parangtritis, “Hei, Ngabdurrahim, sekarang berganti namalah engkau menjadi Ngabdulkhamit. Ngger, Ingsun berpesan sepertinya sudah tertakdir oleh Tuhan bahwa tiga tahun lagi datanglah waktunya kehancuran negara Ngayogyakarta. .... Seakan terdengar lagi lanjutnya, ‘Besok, saat... Continue Reading →

Diponegoro, Pangeran Rakyat (13)

Patih Seda Kedhaton Tanggal 1 November 1811. Hujan kadang mengguyur siang dan malam tanpa perhitungan, semakin tidak nyaman seseorang untuk keluar rumah. Malam itu, setelah langit mengguyur deras, sebentar kemudian guyurannya mengecil, dan membentuk butiran-butiran kecil, yang kemudian memantul meninggalkan lingkaran gelombang mini yang terjadi di mana-mana. Kaki-kaki kuda Raden Mas Ontowiryo menapak dengan kecepatan... Continue Reading →

Diponegoro, Pangeran Rakyat (12)

12. Membakarlah Matahari dari Maospati Gerimis menghabisi malam. Ngayogyakarta ditelan kesedihan. Raden Mas Ontowiryo tak banyak berkata, tapi membiarkan ingatannya melayang-layang mengunjungi waktu-waktu sebelum hari berselimut duka itu. Siang bermendung itu dia tidak mau ke Keraton. Untuk apa sowan ke keraton jika hanya untuk mengantar kepergian seorang banteng dan benteng keraton Ngayogyakarta, kepergian yang dipaksakan,... Continue Reading →

Diponegoro, Pangeran Rakyat (8)

BAB 8. Nicolaus Engelhard Terluka Hati Dia memang tinggi. Tetapi sebagai orang Eropa, tubuhnya tidak tergolong besar. Siang itu dia sedang bersantai di halaman depan rumahnya yang luas. Dia bersihkan arca-arca itu dengan kuas lembut sambil bersenandung kecil. Lelaki Belanda itu telah begitu nyaman hidup di Jawa. Dia datang di Batavia saat berusia 16 tahun,... Continue Reading →

Diponegoro, Pangeran Rakyat (11)

BAB 11. Surat Pamit “Dua hari yang lalu saya ketemu beliau, Paman,” kata Raden Ontorwiryo alias Pangeran Diponegoro. “Betul, Pangeran. Tadi Kang Mas Raden Ronggo mengirim surat kepadaku,” kata Tumenggung Sumodiningrat pelan. Ada kekhawatiran mengawan di wajah salah satu menantu Sultan Hamengku Buwono II, yang bergelar Kanjeng Raden Tumenggung Sumodiningrat itumenantu. Sang paman bangkit dari... Continue Reading →

Diponegoro, Sang Pangeran Rakyat (10)

Kekecewaan Dua Pihak Oleh Sugeng Hariyanto Lelaki Belanda itu bertubuh tegap seperti kebanyakan orang Belanda. Tapi yang tidak seperti kebanyakan orang Belanda adalah kefasihannya menata kata dan mengatur kalimat yang sangat menonjol. Orang-orang di keraton menyebutnya wasis amicara, pintar berbicara. Jika orang tahu keluarganya, mungkin orang akan mafhum. Dia adalah sepupu Nicolaas Engelhard, gubernur pantai... Continue Reading →

Diponegoro, Sang Pangeran Rakyat (9)

Maklumat Daendels Sehari setelah maklumat Daendels itu diterima, Sultan segera memanggil para nayaka, para pejabat tinggi keraton untuk mendiskusikannya. Tampak di sana Sang Putera Mahkota, dan tiga iparnya, Tumenggung Suryodiningrat, Patih Danurejo II, dan Raden Ronggo. Dari tiga ipar Sang Putera Mahkota, Raden Ronggo memang yang termuda. Tetapi, meskipun muda, nayaka berwajah tampan dengan temperamen... Continue Reading →

Diponegoro, Sang Pangeran Rakyat (8)

8. Engelhard, hatinya terluka Dia memang tinggi. Tetapi sebagai orang Eropa, tubuhnya tidak tergolong besar. Siang itu dia sedang bersantai di halaman depan rumahnya yang luas. Dia bersihkan arca-arca itu dengan kuas lembut sambil bersenandung kecil. Lelaki Belanda itu telah begitu nyaman hidup di Jawa. Dia datang di Batavia saat berusia 16 tahun, yakni tahun... Continue Reading →

Diponegoro, Sang Pangeran Rakyat (7)

7. Daendels Tiba Tiga tahun berlalu sejak perjalanan kelananya. Saat itu telah 1808. Sebuah sore yang sepi. Matahari masih mengguyur pelataran itu dengan sinarnya. Sesekali saja udara bertiup. Sang Pangeran seakan sedang mendaki kenangan. Tahun 1802 tentu tahun yang tak dapat dilupakan. Di tahun itu dia menikahi puteri kedua Kiai Gede Dadapan, dari desa Dadapan,... Continue Reading →

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑