Catatan Ziarah 4 – Ke Masjid/makam Syeikh Abu Abbas al-Mursi, Sang Khalifah Agung Tarikat Sufi Asy Syadizilyah

Sugeng Hariyanto

Nama beliau memang mirip dengan presiden Mesir terpilih yang digulingkan kudeta Asisi. Aku tidak tahu apakah ada kaitannya atau tidak. Dan itu tidak penting.

Di samping masjid Imam Bushiri ini adalah masjid yang lebih besar yang juga akhirnya menaungi makam seorang Imam yang menelorkan murid-murid yang mungkin engkau kenal atau karyanya engkau kenal sekarang. Di sinilah, di bagian belakang masjid, ada makam beliau, Syeikh Abu Abbas al-Mursi.

Masjid Abu Abbas al-Mursi, salah satu masjid tertua di Masir, dengan arsitektur khas Mesir.

Kata Mursi di nama beliau menunjukkan bahwa beliau dari daerah Murcia, Spanyol. Tentu kau masih ingat jaman kejayaan Islam di Andalusia. Murcia adalah salah satu pellita ilmu dan hikmah di Andalusia. Sebagai keluarga berkecukupan, keluarga Imam Mursi memiliki banyak sarana untuk mengurim anak-anak mereka menuntut ilmu, bahkan naik haji.

Sekira tahun 1242 M. keluarga mereka (ayah-ibu, beliau dan saudaranya Abdillah Jamaluddin) berangkat untuk beribadah haji dengan naik kapal. Namun, mendekati pantai Tunisia kapal diserang badai besar dan tenggelam. Kedua orang tua tersebut meninggal. Kedua anak tersebut selamat dan tinggal di Tunisia. Di negeri inilah beliau bertemu dan berguru kepada Sang Permata Tasawuf, Syaikh Abu al-Hasan asy-Syadzili (tarikat Syufi yang beliau dirikan adalah SYadziliyah). Kisah pertemuan beliau dengan Syaikh Abu al-Hasan asy Syadzili ini telah masyhur dan memang mengharu biru dan begitu manis bagi para pecinta tasawuf. Cerita-cerita ini diklaim dikisahkan cendiri oleh Imam Mursi dan Sang Guru.

Sahdan, sebelum tahun 1242 itu Syeikh Syadzili telah meninggalkan Tunisa untuk pergi ke Mesir dan Mekkah. Lalu seakan sulit dipahami, beliau kembali ke Tunisia. Dalam suatu kesempatan setelahny beliau mengungkapkan bahwa yang membuatnya kembali ke Tunisia adalah laki-laki muda itu, Abul ‘Abbas al-Mursi. Pesan Rasulullah saw. didapat beliau dalam mimpi saat di Iskandariyah sekembalinya dari Mekkah.

Dari sisi Abul ‘Abbas al Mursi pun tidak kalah mencengangkannya. Usia beliau sekitar 20 tahun saat terdampar di Tunisia. Seseorang mengajaknya menemui Syaikh Abu Al Hasan al-Syadzili. Tapi beliau tidak langsung meneyetujuinya, beliau shalat istikharah dahulu. Dalam tidur setelah shalat itu beliau bermimpi seolah-olah beliau sedang melakukan perjalan mendakiu gunung. Sesampainya di puncak gunung, beliau melihat seorang lelaki bersorban hijau di kepala, dengan didampingi orang lelaki di sisi kanan dan kirinya.

Anehnya, si lelaki bersorban itu berkata, “Aku telah menemukan khalifah zaman ini.”

Abu al Abas al Mursi pun terbangun dan segera setealah shalat Subuh beliau dan orang mengajaknya menemui Syeikh Al Syadzili. Al Abas al Mursi pun tercengang demi mendapati bahwa orang yang ditemui itu persis seperti yang ada di dalam mimpinya.

“Siapa namamu?” tanya Syeikh Asy Syadzili.

Setelah mendengar jawaban Al Mursi, dengan tenang beliau berkata, “Engkau telah ditunjukkan padaku sejak 20 tahun lalu!”

Msya Allah, itu berarti sejak saat Al Mursi dilahirkan.

Setelah pertemuan itulah al-Mursi menjadi murid Syeikh Abu al-Hasan As Syadzili. Beliau mengikitu Sang Guru ke Iskandariyah, Mesir. Dan Beliau menjafi Khalifah Syadziliyah sepeninggal Syeikh Abu Hasan al Syadzili.

Sebagaimana Syaikh as-Syadzili pernah berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abbas… demi Allah, aku tidak mengangkatmu sebagai teman kecuali supaya kamu itu adalah aku, dan aku adalah kamu. Wahai Abu Abbas.. demi Allah, apa yang ada dalam diri para wali itu ada dalam dirimu, tapi yang ada pada dirimu itu tidak ada dalam diri para wali lainnya.”

Banyak lagi karomah yang dicerita oleh banyak orang, termasuk murid beliau sendiri. Sikapnya yang berbeda dalam menerima tamu, mengetahui siapa yang akan bertamu, dll. Ada satu hal yang pantas selalu saya ingat adalah perkataan beliau yang diceritakan oleh muridnya, Syekh Ibnu Ajibah:

“Setiap buruknya adab (kesalahan) yang dapat membuahkan adab (sopan santun), maka hal ini bukanlah su’ul adab.”

Artinya, jangan terkungkung kesalahan masa silam.

Namun, yang lebih menyentak adalah nasihat Abu Hasan Asy Syadzili kepada beliau saat beliau sedang “down” dalam perjalanan menuju Iskandariyah dari Tunis (1244). Sang Syeikh menasihatinya dengan mengambil dasar diturunkannya Adam ke bumi untuk menjadi Khalifah.

“Allah tidak mengatakan Adammenjadi khalifah di langit atau di surga. Adam diturunkan ke bumi untuk memuliakannya, bukan untuk merendahkannya. Dulunya Adam menyembah Allah di surga dengan di beri tahu (Ta’rif). Namun, setelah diditurunkan ke bumi, Adam beribadah pada Allah dengan kewajiban (Taklif). Ketika dia telah menjalankan kedua ibadah tadi, maka pantaslah dia menyandang gelar pengganti (Khalifah). Engkau ini juga punya kemiripan dengan Adam. Mula-mula kamu ada di langit ruh, di surga, dan menyembah Allah dengan pemberitahuan (Ta’rif) lalu engkau diturunkan ke bumi nafsu supaya engkau menyembah dengan kewajiban (Taklif). Ketika engkau telah sempurna dalam kedua ibadah itu pantaslah engkau menyandang gelar pengganti (Khalifah).”

Masya Allah. Kita semua seperti itu. Awalnya menyembah Allah di alam ruh. Setelah kita terlahir, kita dihadapkan pada keinginan bebas menyembah siapa pun, meski di dasar sana ada fitrah untuk menyembah Allah. Sekarang kita menyembah Allah sebagai pilihan yang bertanggung jawab.

Lalu, menetaplah beliau di Iskandariyah dan memiliki banyak murid. Salah satunya, sang ulama ahli syair, bernama Imam Bushiri, dan lainnya seorang ulama ahli prosa bernama Ibnu Atha’ilah. Kitah Al Hikam bahkan ditulis Syeikh Ibnu Athaillah pada saat Syeikh Mursi masih hidup. Saat ditunjukkan kitab itu kepada beliau, beliau berkata, “Wahai anakku, engkau telah menuliskan kandungan pokok Ihya’ dalam kitab ini”.

Ruang utama masjid.

Ah, ceritanya terlalu panjang, ya. Ayo kita masuk ke masjid ini. Waktu masih maghrib dan kita shalat jamaah Mghrib-Isya. Ustdaz Hamdi mengambil posisi persis di bawah lampu lingkar di ruang utama masjid. Setelah itu kita berziarah ke makam Syeikh Abu Abas al Mursi, Sang Khalifah Agung Syadziliyah.

Aku melangkah ke arah kubur beliau dengan mebayangkan segala kemulaiaan beliau. Kuburnya sederhana. Kubur itu diberi pagar terali besi dan ditutup kain hijau. Sekat kayu warna cokelat itu adalah pemisah antara peziarah laki-laki dan perempuan.

Kami berdzikir dan mendoakan beliau semoga Allah memberikan bayak pahala kepada beliau, menganugerahi beliau ketenangan dan surga, sebagaimana beliau telah menebarkan ketenangan kepada para murid dan ummatnya. Aamiin.

Makam Syeikh Abu Abbas al-Mursi.

Aamiin.

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑