Catatan Ziarah 5 – Syeikh Sufi Agung Penulis Al Hikam

Sugeng Hariyanto

Kitabnya begitu melegenda. Di pesantren tradisional selalu diajarkan. Di dalam novel-novel ciptaan Kang Abik, keunggulan protagonisnya beberapa kali ditandai kepiawaaiannya menjelaskan kandungan kitab ini kepada para jamaah. Kitab apa ini?

Ya, benar, itulah kitab Al Hikam karya Syeikh Ibnu Atha’illah As Sakandari. Ayo kita berziarah ke sana.

Kita menuju sebuah bukit pemakaman di wilayah Qaraha, Kairo. Satu bukit ini didominasi oleh makam, makam dan makam. Beberapa makam kelihatan tidak terurus. Sepertinya setiap keluarga mengkapling tanah di sini untuk makam keluarga, dipagar keliling. Pintu gerbang ke makam itu juga beragam. Ada yang ala kadarnya, ada yang megah.

Bus kita belok kiri, membelah area pemakaman dan melewati bawah jembatan jalan tol yang melengkung itu. Rupanya bongkaran-bongkaran tadi terkait dengan pembangunan jalan tol itu.

Kita menuju masjid di depan itu. Itulah satu-satunya masjid yang kelihatan di sini. Bus parkir dengan mulus. Debu tipis diterbangkan oleh jejak bannya. Tampak tiga anak sedang bahagia bermain bola di bawah panas yang terik. Terlihat satu mobil bagus parkir di situ. Kita turun dan tebarkan pandang ke sebelah kiri. Ada jalan yang sepi. Sebelah kanan, kompleks pekuburan, dan yang tampak cokelat itu adalah Masjid Ibn Athaillah.

Adzan dhuhur berkumandang. Kita akan ikut jamaah di sini. Tempat wudu bisa dicapai melalui ruang utama masjid kecil ini. Kita pun mengambil air wudu dan menunggu shalat di mulai.

Aku duduk di sayap kiri. Dan jamaah ini sepertinya hanya satu shaf saja. Sebagian besar adalah rombongan kita ini. Di depanku terpampang tulisan Arab “Di sini makam Ibn Athaillah As Sakandari.”

Nama As Sakandari itu menjelaskan bahwa beliau berasal dari Iskandariyah, alisa Alexandria. Beliau lahir tahun 648 H/ 1250 M, dan meninggal di Kairo pada 1309 M). Cucu seorag ulama besar yang karenanya beliau mendapatkan atmosfer yang luar biasa bagus untuk perkembangan ilmu agama Islamnya.

Beliau sezaman dengan Imam Ahmad bin Hambal. Kakeknya sendiri penganut madzab Maliki. Sebagian besar orang Mesir saat itu pengikut akidah Asy’ariyah. Seperti yang telah kita perbincangkan di catatan sebelumnya, beliau adalah salah satu murid terkemuka Syeikh Al Mursi. Syeijkh Al Mursi adalah guru pertama di luar lingkungan kelaurga. Setelah itu beliau berguru pada guru dari gurunya, yaitu Ay Syadzili. Kedua syeikh inilah yang memiliki pengaruh besar pada Syeikh Ibn Athaillah. Ajaran, pesan, naskah doa, serta biografi kedua syeikh besar ini juga Syeikh Ibn Athaillah. Dengan catatan itu beliau menjaga khazanah ajaran tarikat Syadziliyah. Sehingga, tidak mengherankan jika beliau dikenal sebagai syeikh agung Asyadiliyah ketiga.

Syeikh Ibnu Athaillah ahlinya prosa. Nasihat-nasihatnya yang indah menawan jiwa terkumpul dalam kitab Al Hikam. Masih ingatkan, saat selesai menulis kitab itu, Ibn Athoillah menunjukkan kitabnya itu kepada Sang Guru, Al Mursi, dan “Anakku, engkau telah menuliskan intisari Ihya di dalam kitab ini,” kata Al Mursi.

Beliau meninggal ketika sedang mengajar di Madrasah Manshuriyah, Kairo, Mesir. Seluruh Mesir dilanda badai kesedihan. Bahkan seluruh dunia Islam karena Mesir saat itu menjadi pusat pemerintahan Islam (Dinasti Mamluk). Banyak sekali orang bertakziah kepada beliau. Guru agung ini tidak memiliki harta benda apa-apa untuk diwariskan. Tapi beliau mewariskan butiran-butiran mutiara hikmah luar biasa di dalam kitaknya Al Hikam.

Iqamah terdengar dan kita shalat. Segera setelah selesai shalat, seseorang yang tadi menjadi imam bertanya, “Ziarah?”

Kita pun mengiyakan. Dan kita dipersilakan melewati pintu kiri untuk menuju ke makam beliau. Ternyata makam beliau ada persis di balik tembok, di belakang tulisan tadi. Dengan sopan kami masuk ke ruangan lumayan sempit itu. Makam dipagar terali ukir warna kuning keemasan. Kami pun berdzikir dan mendoakan beliau. Setelahnya imam masjid tadi menjelaskan sedikit kepada kami tentang sejarah Ibnu Athaillah. Beliau berdiri, kami duduk. Ustdz Hamdy menerjemahkan penjelasan itu.

Setelahnya aku mendekat ke arah pagar makam dan memotret kubur beliau. Seperti kubur-kubur ulama lainnya. Ada kain hijau kesukaan Rasulullah di atasnya.

Masih ingat kita beberapa butir mutiara Al Hikam yang memberi landasan kita pegangan kehidupan dalam bahasa biasa (bukan bahasa Qur’ani atau hadits). Kalam hikmah ini lahir dari pengalaman spiritual dan perenungan Syeikh Ibnu Athaillah.

Ingatkan inti dari nasihat beliau ini?

“Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya.”

Itulah kenapa kita yakin bahwa bekerja keras di dunia itu kebaikan asal tidak berlebihan cinta dunia.

Kenapa?

Menurut beliau, “Zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia.”

“Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. “Semua itu hanyalah permainan dan senda gurau yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi,” ujarnya.

Benar kata Ustdz Hamdy, kebanyakan dari kita adalah pengamal ini. Tetap mencari dunia, sekaligus zuhud dan selalu ingat bahwa jika kebablasan dunia ini tak membawa manfaat apa-apa, hanya senda gurau yang sejenak. Demikian jugakah kau, sahabat?

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑