Tiba di Kashmir

Oleh Sugeng Hariyanto

Tanggal 14 Maret 2023. Jam 5.12 sore, di Bandara Internasional Indira Gandhi kami mulai naik ke pesawat IndiGo yang akan membawa kami ke tanah Kashmir.

Kawan, apa yang kamu pikirkan ketika mendengar kata Kashmir? Atau Jammu dan Kashmir? Jika kau sepertiku, yang tergambar di bayangan adalah kawasan Muslim yang lagi bergolak. Tentara ada di mana-mana. Saling tembak. Penangkapan. Tidak aman. Begitu gambaran saya sebelumnya. Mengerikan. Namun, kami ingin sekali mengunjungi tanah ini. Setelah akhir tahun lalu kami mengunjungi Al Aqsha yang sangat gawat beritanya, kami memiliki perasaan bahwa kenyataan di Kashmir tentu di bawah Israel-Palestina keadaanya. Jika kami bisa ke Palestina dengan selamat, insya Allah, yang ini juga bisa.

Keadaan Kashmir saat ini tidak bisa dipisahkan dari sejarah Kashmir setelah wilayah India mendapat kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1947, setelah 190 tahun dikuasai Inggris. Pada tahun 1946, Inggris telah merancang untuk membagi wilaya India menjadi tiga wilayah. Namun, terjadi perang saudara antara kelompk Hindu dan Islam. Maka pada tahun 1947 Parlemen Inggrus mengesahkan Undang-undang Kemerdekaan India, yang secara resmi mengakhiri kekuasannya di India dan mengesahkan berdirinya dua negara yaitu India dan Pakistan. Pakistan disahkan sebagai tanah air bagi umat Muslim, sedangkan India tetap menjadi negara sekuler dengan mayoritas Hindu. Rakyat yang tinggal di wilayah dominion yang ditetapkan sebagai India dan Pakistan bebas memilih kewarganegaraan India atau Pakistan. Dari sinilah kita menyaksikan bahwa di Delhi kebanyakan orang Hindu dan di bagian Barat dian Timur (Pakistan) kebanyakan orang Islam karena mereka berpindah tempat tinggal pada masa ini.

Pakistan berada di barat laut India dan timur India (yang bagian timur ini sekarang menjadi Bangladesh). Kerajaan Kashmir terletak di bagian utara subbenua India, sekarang berbatasan dengan Pakistan di sebelah barat dan Afghanistan di sebelah utara, dan Cina sebelah timur, dan tentu saja India sebelah selatan. Pada saat kemerdekaan diberikan, Inggris memberikan opsi kepada para maharaja (termasuk maharaja Kasmhmir) untuk memilih antara ikut India atau ikut Pakistan.

Yang terkait Kashmir bagaimana? Sebelum kemerdekaan itu, setia pprofinsi dipimpin oleh seorang maharaja. Setelah kemerdekaan, masing-masing maharaja disuruh memilih ikut India atau Paskistan berdasar pertimbangan apakah provinsi itu berada dalam wilayan yang dirancanag sebagai wilayah India atau Pakistan, keinginan rakyatnya, dan hubungan Maharaja dengan pimpinan India dan Pakistan.

Pada garis ini Maharaja Kashmir gamang. Secara geografis, Kashmir berada di antara India dan Pakistan. Sebagian besar rakyatnya beragama Islam, tapi dia sendiri seorang Hindu. Dia memberi tahu Pakistan bahwa dia akan menentukan pilihan pada saatnya. Namun, belum genap satu tahun berlalu, pilihan belum ditentukan, ada ‘serbuan’ sekelompok orang. Kelompok ini diidentifikasi berasal dari utara (Pakistan). Sang Maharaja meminta bantuan India. Dan sejak saat itu pasukan India dikirim ke Kashmir untuk memerangi kelompok itu. Lalu, pecahlah perang antara Pakistan dan India tentang masalah Kashmir ini.

Jadi, Kashmir diperebutkan dua negara ini? Tidak sepenuhnya benar. Tidak dua, tapi tiga negara. Di sisi timur ada Pasukan China yang telah menancapkan kukunya. Kondisinya sekarang, sebelah utara Himalaya dikendalikan oleh Pakistan, sebelah selatan Himalaya dikendalikan India, dan sebelah timur, njlarit kecil, dikendalikan oleh China.

Yang kita dengar di berita “Kashmir” atau “Jammu dan Kashmir” adalah yang dibagian yang dikendalikan India ini. Secara defakto, dia bagian dari India, secara deyure, bukan. Persis seperti sebagian besar wilayah Palestina. Secara defakto sebagian besar wilayah dikendalikan oleh Israel, dan secara deyure tidak tidak!

Lalu kenapa Kashmir ditutup tahun 2020? Kenapa ada bentrokan? Itu karena kedudukan Kashmir sebagai provinsi otonom dihapus oleh pemerintah India yang sekarang. Orang-orang Kahmir ingin mempertahankan identitas mereka sebagai orng Islam. Dengan dihapusnya posisi otonom itu, daerah mereka akan terbuka untuk siapa saja, dan tanah yang dulunya tidak boleh dibeli oleh orang dari luar kashmir, sekarang bisa dibeli siapa saja. Peraturan sekolah sama dengan peraturan seluruh India. DI surat kabar ada yang mengeluhkan bahwa setiap pagi di sekolah negeri anak-anak harus melantunkan lagu Hindu. Macam-macamlah masalahnya.

Kita bicara defakto, Teman. Kashmir yang kami kunjungi ini dikendalikan oleh India. Jadi, kami harus mendapatkan visa India untuk mengunjungi Kashmir. Seorang teman di Jakarta membantu mengurusnya. Kami hanya mengisi formulir dan sekitar dua minggu visa keluar. Kami mendapatkan visa multi entry, berlaku satu tahun.

“Flight attendants, prepare for landing.”
“Cabin crew, please take your seats for landing.”
Suara pengumuman dari kapten membuat lamunanku berakhir. Aku merapatkan sabuk pengaman.

Tak lama kemudian pesawat mendarat dengan mulus. Di luar tentu saja sudah gelap. Pramugari mengingatkan bahwa tidak boleh mengambil foto dan membuat video di bandara ini karena ini bandara militer.

Aku mengintip keluar lewat jendela. Bandara ini tidak begitu besar. Gedung di depan sana juga tidak besar. Mungkin seukuran bandara Malang, lebih besar sedikit. Terlihat beberapa tentara menyandang senapan di bawah sana.

Kami turun dengan tangga. Tidak ada garbarata. Lalu kami diarahkan ke ruang kedatangan. Langsung di sana ada ban berjalan yang mengantarkan koper-koper penumpang. Ya, ukurannya bandara ini tak jauh beda dengan bandara Malang, lebih besar sedikit. Kami menunggu munculnya koper di sana, dan beberapa teman perempuan ke kamar kecil. Tertulis jelas “No photography, no videography.”

Meski begitu beberapa orang tetap berfoto. Mungkin tidak membaca tulisan tadi. Mungkin tidak mendengar peringatan pramugrasi tadi. Istriku mengingatkan teman yang berfoto. Yang diingatkan tetap berfoto. Kami khawatir ini mendatangkan masalah, karena tak jauh dari kami berdiri tentara menyandang senjata. Ah, ternyata sang tentara tidak menegurnya. Mungkin kejadian seperti itu sudah biasa dan tampang-tampang kami sama-sekali tidak membahayakan.

Yang ke kamar kecil belum kembali. Jam sudah menunjuk 8.30. Seorang dengan wajah tampan memakai jas menghampiri kami. “It’s late. Come” (Ini sudah larut, ayo cepat.)

Ternyata tinggal kami yang ada di dalam bandara itu dan beberapa petugas. Empat orang teman masih di toilet.

Bapak rupawan itu meminta kami seadanya ke mejanya sambilk menunggu yang lain. Rupanya beliau petugas yang mendata orang asing. Di Indonesia, jika orang asing datang dengan pesawat domestik, tidak akan ada pemeriksaan. Di sini, kami di data. Dan pendataan itu tidak dengan scanner passport, tapi si bapak menanyai kami satu persatu berdasarkan paspor dan jawabannya ditulis di atas kertas secara manual. Beberapa teman sedikit membuat ini menjadi gurauan. Namun itu tidak berlama-lama gurauannya karena ada Pak Tentara lewat situ.

Setelah kedua belas orang di data, kami keluar. Lampu remang-remang. Tak ada bangunan tinggi. Pepohonan kelihatan berbaris di pembatas. Yang jelas menusuk adalah hawa yang dingin. Menurut ramalan cuaca tadi, malam seperti ini bisa mencapai 5 derajat C.

“Assalamu’alaikum.”

Betapa merdunya suara itu. Suara yang tak pernah kudengar selama 3 hari belakangan ini. Muncullah dua orang lelaki menganalkan diri. Satunya ALtaf dan satunya Umar. Lalu muncul bebrapa orang yang dengan ramah memberi salam dan membantu membawakan koper-koper kami menuju dua mobil yang telah menunggu kami.

Orang-orang itu menaikkan koper-koper kami. Kami lihat plat nomor mobil itu berawalan JK. Tentu bukan Jusuf Kalla, tapi tebaan kami itu singkatan dari “Jammu Kashmir”. Ya, wilayah ini sekarang menjadi provinsi Jammu dan Kashmir. Harapan menjadi daerah istimewa sudah sirna dengan terbitnya undang-undang baru yang menghapus kemungkinan itu, dan malah membagi wilayah yang dikuasi India ini menjadi dua provinsi, provinsi Jammu dan Kashmir dan provinsi Ladakh.

“He, ada mobilnya Jokowi,” seloroh seorang teman demi melihat nomor plat mobil di depanku. Mobil itu, sebuah Fortuner, dan mobil satunya lagi, yang akan membali kami keluar wilayah bandara ini menuju Danau Nigeen.

Mobil meluncur melewati jalan yang tidak luas dan juga tidak semulus aspal hotmix, yang tidak cukup terang disinari lampu jalan. Berulang kali mobil mengerem untuk melewati polisi tidur. Di sepanjang perjalanan, suasana sudah sepi. Saya tidak tahu apakah itu karena ada peraturan jam malam ataukah memang begitu kebiasaannya.

“Apa lampu-lampu itu?” tanyaku kepada Umar saat kulihat jajaran lampu terang di punggung gunung.

“Borderland,” katanya. “Military,” tambahnya.

Saya pikir itu perbatasan dengan Pakistan karena dia bilang itu borderland. Tapi ternyata di hari-hari berikutnya aku tahu bahwa jika orang situ bilang “borderland” maksudnya adalah itu wilayah kamp militer.

Kami sudah capek dan ngantuk. Perjalanan itu memerlukan sekitar satu jam. Dia menyetir dengan cepat saat tak ada polisi tidur, meski di jalan yang sempit. Lalu sampailah kami di tepi sebuah danau.

Sepi. Jam teluh menunjuk angka 10. Kedua sopir kami, sekaligus pemandu kami, turun, berjalan ke semacam pendapa persis di tepi danau. Dua orang kemudian datang dan menuju ke mobil untuk menurunkan koper-koper kami. Kami dipersilakan ke pinggir danau dan di sana sudah ada 3 chikara menunggu.

“Ayo naik,” kata Aftaf.

Beberapa orang ragu, takut naik ke chikara. Ini malam-malam kok disuruh naik ke perahu, kalau tenggelam bagaimana.

“Kita langsung ke penginapan saja,” kata salah satu dari kami.

“Iya, makanya kita naik ini. Penginapannya di danau.”

Ya, kita harus naik perahu, karena penginapan kita adalah sebuah rumah perahu yang akan dijangkau dengan perahu itu.

.

Perahu yang disebut chikara itu membawa membelah air yang tenang dan hawa dingin menuju dua rumah perahu. Sesampainya di depan rumah perahu yang tidak begitu jelas kami lihat dari luar itu, kami menjejakkan kaki dengan hati-hati dari ujung chikara ke tangga beranda rumah perahu itu. Antara capek, ngantuk, dan lapar, kami tidak begitu bersemangat menaiki tangga yang tidak banyak itu.

Seseorang membuka pintu dengan senyum lebar, salam dan mempersilakan kami masuk. Kami diminta melepas sepatu dulu di beranda itu. Ya, kami turtuti dan kami masuk. Begitu masuk, aku seakan terlonjak, terkejut dengan ruangan itu.

Karpet merah tebal hangat dengan hiasan yang cantik terhampar di lantai. Di sebelah kanan ada jendela kaca, dengan tirai putih yang basih terbuka. Kayu bagian bawah jendela dihias sederhana.
Sejenis teko tinggi dari perak (sepertinya) berada di atas nampan bundar yang juga dari perak ada di atas meja.

Meja itu berkaki lengkung. Temboknya terbuat dari kayu yang divernis, dengan ukiran tetumbuhan yang luwes juga. Segera ini mengingatkanku pada perabot dan ukiran Jepara.

Perhatikan korden itu. Motif hiasan itu adalah motif hiasan Kashmir, yaitu dahan, sulur dan daun mapel yang disebut chinar.

Di pojokan sebelah jendela ada lampu ruang dengan tudung berhias dengan motif chinar juga. Di seberang jendela itu (tidak tampak dalam gambar) sebuah elekton tua yang mungkin tidak lagi berfungsi. Saat mendongak, aku lihat langit-langti dari kayu yang sama dengan ukiran lingkaran berstilir simetris saling mengait, khas seni Islam. Aku melangkah ke ruang dalam. Ada satu set meja makan di tengah ruangan. Satu set TV tua, dengan layar tabung, menunggu manis di pojoknya. Tembok kayu dan langit-langit berhias sama dengan yang di ruang depan.

“Aftaf, mana makannya?” tanya Mbak Sari yang telah mengenal orang-orang yang melayani kami ini.

“Sebentar. Sengaja kami simpan dulu agar tidak dingin. Hawa sangat dingin, makanan cepat dingin,” jawabnya dalam bahasa Inggris.

Teman-teman, dan aku tentu saja, tak kuasa menahan niat melihat-lihat rumah ini sampai ke belakang. Kami jelajahi rumah itu sambil menunggu makanan siap. Ada tiga kamar tidur di situ. Aku dan istriku kebagian di rumah perahu sebelahnya, yang tidak jauh berbeda dengan rumah perahu ini, hanya saja ukurannya gak kecil. Hanya ada dua kamar tidur di situ.

Ku ajak istriku naruh rangsel dan koper yang haru saja diturunkan dari chikara ke-3 ke kamar tidur.
Kamar tidur ini juga sangat Kashmir. Lihatlah.

Korden itu juga bangga dengan motif daun chinar khas Kashmirnya. Lekuk dipan itu juga. Rupanya dinding kayu itu yang diukir dari luar kamar tidur saja. Dari dalam tidak diukir.

Ada panggilan agar segera makan dari rumah perahu sebelah. Oh, dua rumah perahau ini saling terhubung. Rumah perahu tidak tidak berlayar, hanya diam di situ sebagai rumah. Kami dan dua ibu-anak dari Lhoksemawe Aceh menuju rumah sebelah untuk mengisi perut. Sesampainya di sana kami dapati hidangan di atas meja makan, dan dua orang lelaki lain yang mengenalkan diri mereka dengan sangat sopan.

Aku tidak ingat lagi nama-nama makanan itu dan bumbunya apa saja meskipun tuan rumah menjelaskan semuanya dengan penuh bangga. Aku sudah kurang konsentrasi karena lapar 🙂 Tapi yang jelas “yogurt” atau “susu” sepertinya menjadi ganti santan bagi kita. Daging kambing adalah menu yang biasa disajikan. Almond bisa hadir di dalam sayuran atau minuman dengan beberapa cara berbeda.

Kami makan dengan lahap, dan aku, seperti biasanya, tidak makan kambing. Setelah makanan utama itu hampir habis, maka disajikanlah minuman. Tentu ada kopi atau teh. Tetapi tehnya dicampur rempah-rempah tertentu yang disebut masala. Chai masala atau teh rempah namanya. Ada juga kahwa, yaitu seduhan safron dan madu, serta diberi irisan almond tipis-tipis. Safron di sini terkenal, teman. Bunga sejuta khasiat yang per gram berharga ratusan ribu.

Setelah makan kami ngobrol sedikit tetang rumah ini dan ukiran-ukirannya. Dinding kayu berukir itu berbahan kayu walnut yang usianya ratusan tahun. kashmir terkenal dengan kayu walnut nomor satu sejagad, dan kehalusan ukiran-unirannya itu. Konon Kashmir tidak mampu memenuhi kebutuhan ukiran itu hingga mensubkontrakkan ke negara bagian lain di India yang penduduknya dulu bernenek-moyang imigran dari Kashmir.

Hawa semakin dingin, perut kenyang, dan kantuk semakin berat. Aku dan istriku pamitan untuk istirahat terlebih dahulu karena esok hari kita akan melanjutkan petualangan kecil ini.

(bersambung)

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑